Majalah Anestesia & Critical Care https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal <p>MACC is an official journal of The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (PERDATIN). This journal is an open-access medical journal double-blind peer-reviewed published quarterly (February, June, and October).&nbsp; This journal considers articles on all aspects of anesthesiology, critical care, perioperative care, and pain management. MACC encourages authors from any country in the world to submit manuscript on anesthesia and related subjects. We accept original articles, review articles, case reports, evidence-based case reports (EBCR), and letters to the editor/editorial.</p> en-US sekretariat.macc@gmail.com (Sekretariat MACC) sekretariat.macc@gmail.com (sekretariat macc) Sun, 30 Jun 2024 20:07:14 +0700 OJS 3.1.2.4 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 Opioid-Free Anesthesia yang Menjanjikan https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/412 <p>Anestesia tanpa opioid (ATO) semakin populer sebagai strategi manajemen anestesi multimodal yang menghindari penggunaan opioid. ATO bertujuan mengurangi efek samping opioid, seperti mual muntah pascabedah, gangguan motilitas gastrointestinal, ketergantungan fisik, dan hiperalgesia. Konsep analgesia multimodal menggunakan kombinasi analgesik dari berbagai kelas dan teknik anestesi regional untuk optimalisasi nyeri. Agen non-opioid dalam ATO meliputi ketamin, lidokain, magnesium sulfat, NSAID, deksametason, serta agonis alfa-2 seperti dexmedetomidine dan klonidin. Pemilihan obat, dosis, dan cara pemberian disesuaikan untuk menghindari efek samping. Lidokain efektif mengurangi nyeri pascabedah, mempercepat rehabilitasi, dan mempersingkat masa rawat inap. Magnesium sulfat mengurangi variabilitas detak jantung dan hemodinamik intraoperatif. NSAID dan deksametason mengurangi penggunaan opioid dan insiden PONV. Dexmedetomidine memberikan efek sedasi dan analgesik dengan stabilitas hemodinamik, meskipun memiliki risiko hipotensi dan bradikardia. Penelitian menunjukkan kombinasi dexmedetomidine dengan analgesik lain dalam ATO memberikan analgesia yang baik dan menurunkan risiko PONV. ATO diharapkan semakin direkomendasikan di masa depan dengan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan regimen anestesi yang aman dan efektif.</p> Aida Rosita Tantri Copyright (c) 2024 Aida Rosita Tantri https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/412 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 Perbandingan antara Anestesi Tanpa Opioid (ATO) dengan Anestesi Berbasis Opioid (ABO) Terhadap Kejadian Mual dan Muntah Pascabedah Mastektomi Radikal Modifikasi dan Lama Rawat di Unit Perawatan Pascaanestesi https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/355 <p><strong>Latar Belakang:</strong> Anestesi umum seimbang telah bergantung hampir secara eksklusif pada opioid untuk mengelola nosiseptif intraoperatif dan nyeri pascabedah. Anestesi tanpa opioid (ATO) sekarang mulai diminati sebagai strategi potensial dalam mengurangi penggunaan opioid perioperatif. Penggunaan ATO diketahui dapat menurunan konsumsi total opioid perioperatif dan penurunan lama rawat di Unit Perawatan Pascaanestesi (UPPA). Di Indonesia, belum ada penelitian mengenai pengaruh ATO pada pembedahan mastektomi radikal modifikasi (MRM) terhadap kejadian mual muntah pascabedah (MMPB) dan lama perawatan di UPPA. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ATO dengan anestesi berbasis opioid (ABO) pada pembedahan mastektomi radikal modifikasi (MRM) dan efeknya terhadap kejadian mual dan muntah pascabedah (MMPB) dan lama perawatan di UPPA.<br><strong>Metode:</strong> Penelitian ini menggunakan desain penelitian uji acak tersamar tunggal. Sampel penelitian adalah pasien yang menjalani prosedur pembedahan MRM elektif di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit jejaring pendidikan. Sampel penelitian dibagi menjadi kelompok ABO dan kelompok ATO. Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke UPPA dan dicatat lama rawat dan kejadian mual dan muntah hingga 2 jam pascabedah.<br><strong>Hasil:</strong> Tidak terdapat perbedaan bermakna lama perawatan di UPPA pada kedua kelompok (p=0,184).<br>Terdapat perbedaan bermakna pada kejadian mual dan muntah pada kedua kelompok (p=0,044 dan p=0,02).<br><strong>Simpulan:</strong> Kejadian MMPB pada kelompok ATO lebih rendah dibandingkan dengan kelompok ABO.</p> Haris Winanda, Syafruddin Gaus, Alamsyah Ambo Ala Husain, Syafri Kamsul Arif, Andi Salahuddin, Andi Adil Copyright (c) 2024 Haris Winanda, Syafruddin Gaus, Alamsyah Ambo Ala Husain, Syafri Kamsul Arif, Andi Salahuddin, Andi Adil https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/355 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 Perbandingan Efektifitas Bisoprolol 2,5 mg dan Bisoprolol 5 mg dalam Mengontrol Denyut Jantung pada Pasien Sepsis di Ruang Rawat Intensif https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/339 <p><strong>Latar Belakang:</strong> Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa di mana terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Sepsis dikaitkan dengan pelepasan katekolamin endogen masif yang memberikan hasil klinis buruk. Takikardia merupakan prognostik yang buruk pada pasien sepsis. Pasien sepsis dengan takikardi yang mendapat terapi beta-blocker dihubungkan dengan penurunan angka kematian. Bisoprolol merupakan antagonis selektif-ß1 yang mempunyai efek kronotropik negatif. Penggunaan beta-blocker dapat berkontribusi pada perlindungan sistemik dari lonjakan katekolamin yang terjadi selama sepsis. Bisoprolol menurunkan denyut jantung sehingga dapat mengurangi kontraktilitas miokard, lalu mengurangi kebutuhan oksigen miokard yang meningkat pada pasien sepsis.<br><strong>Metode:</strong> Penelitian ini merupakan <em>randomized clinical trial</em> (RCT) dengan <em>double blind</em>. Pengumpulan data dengan metode prospektif dilaksanakan di RSUP. H. Adam Malik Medan periode Desember 2022 – Februari 2023. Pemilihan sampel dengan consecutive sampling yang memenuhi kriteria inkusi dan eksklusi. Semua sampel akan diambil data denyut jantung, tekanan darah, tekanan arteri rata-rata (MAP), dan laktat yang nantinya akan dilakukan perhitungan secara statistik. lanjut dengan secara statistik.<br><strong>Hasil:</strong> Dengan uji <em>T Independent</em> pada denyut jantung, tekanan darah sistol, tekanan darah diastol, dan MAP pada 2 jam dan 12 jam setelah perlakuan terdapat perbedaan yang signifikan, didapatkan nilai p &lt; 0,05. Hasil serupa didapatkan pada pemeriksaan laktat pada 24 jam setelah perlakuan, terdapat perbedaan yang signifikan, nilai p &lt; 0,05.<br><strong>Simpulan:</strong> Berdasarkan hasil studi kami, terdapat perbedaan yang bermakna antara pemberian bisoprolol 2,5 mg dan bisoprolol 5 mg. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada pemberian bisoprolol 5 mg lebih efektif dibandingkan dengan bisoprolol 2,5 mg dalam menurunkan denyut jantung pada pasien sepsis</p> Alfindy Maulana Pohan, Bastian Lubis, Andriamuri Primaputra Lubis Copyright (c) 2024 Alfindy Maulana Pohan, Bastian Lubis, Andriamuri Primaputra Lubis https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/339 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 Perbandingan Efektifitas Teknik Jugular Interna dan Supraklavikula pada Pemasangan Kateter Vena Sentral dengan Panduan USG di RSUP H. Adam Malik Medan https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/338 <p><strong>Latar Belakang:</strong> Kateter vena sentral (KVS) bermanfaat untuk pemantauan invasif resusitasi hemodinamik. Penggunaan ultrasonografi (USG) dapat mengurangi komplikasi saat pemasangan KVS. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemasangan KVS antara teknik jugular interna dengan supraklavikula menggunakan ultrasonografi.<br><strong>Metode:</strong> Penelitian ini menggunakan metode ekperimen kuasi (eksperimen semu). Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan dengan besar sampel sebanyak 56 orang. Dilakukan pencatatan karakteristik, kedalaman tip KVS, rasio sukses, jumlah percobaan, durasi insersi, dan komplikasi, dengan uji analisis Independent T-Test.<br><strong>Hasil:</strong> Terdapat 28 orang melalui prosedur supraklavikula dan 28 orang melalui prosedur jugularis interna. Frekuensi sampel dengan ujung tip yang tepat sebanyak 23 sampel (82,14%) dan 5 sampel (17,86%) tidak tepat. Dari uji Chi-Square diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kelompok dengan tingkat ketepatan kedalaman tip KVS di atas atrium kanan (p = 1,000). Rerata waktu pemasangan KVS dengan pendekatan jugularis interna adalah 19,64 (2,18) menit dan pendekatan supraklavikula adalah 21,11 (2,28) menit, dan kecepatan secara keseluruhan adalah 20,28 (2,33) cm. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pendekatan jugularis interna dengan supraklavikula (p &lt; 0,05).<br><strong>Simpulan:</strong> Pemasangan KVS dengan pendekatan teknik jugular interna lebih efektif dibandingkan supraklavikula dinilai dari waktu pemasangan, tingkat ketepatan sebesar 82,14 % dan tidak memiliki komplikasi. Pemasangan KVS pada teknik jugular interna memiliki tingkat keberhasilan yang sama dengan teknik supraklavikula. Pemasangan KVS pada teknik jugular interna lebih cepat dibandingkan teknik supraklavikula yang bermakna secara statistik. Komplikasi tidak dijumpai pada pemasangan KVS pada jugular interna dan supraklavikula.</p> Muhammad Fauzi, Bastian Lubis, Rr Sinta Irina Copyright (c) 2024 Muhammad Fauzi, Bastian Lubis, Rr Sinta Irina https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/338 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 Perbandingan Nilai Inferior Vena Cava Distensibility Index Sebelum dan Sesudah Pembedahan Kraniotomi Pengangkatan Tumor Otak https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/334 <p><strong>Latar Belakang:</strong> Autoregulasi otak adalah kemampuan otak mengendalikan volume aliran darahnya sendiri di bawah tekanan arteri yang selalu berubah-ubah, yang dilakukan dengan cara mengubah ukuran pembuluh darah di otak. Tindakan kraniotomi menyebabkan terjadinya perdarahan yang dapat dilihat dari penurunan aliran balik vena. Terdapat hubungan antara volume aliran balik vena dengan ukuran diameter vena cava inferior yang dapat diukur dengan USG melalui vena cava inferior (IVC). Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan nilai <em>Inferior Vena Cava Ditensibility Index</em> (IVCDI) sebelum dan sesudah pembedahan kraniotomi pengangkatan tumor otak.</p> <p><strong>Metode:</strong> Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan metode <em>consecutive sampling</em>. Analisi data dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi variabel yang diteliti dan korelasi antar variabel.</p> <p><strong>Hasil:</strong> Pada penelitian ini, didapati rerata usia pasien yang menjadi subjek penelitian adalah 51,33 ± 12,70 tahun. Pada penelitian ini, seluruh pasien adalah perempuan. Pada parameter <em>distensibility index</em>, terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara pemeriksaan sebelum dan sesudah operasi (p=0,004) dan hasil pengukuran <em>distensibility index</em> sebelum dan sesudah operasi memberikan hasil yang normal dengan nilai &gt; 18%.</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Terdapat perbedaan yang signifikan antara distensibility index sebelum dan setelah operasi<br>kraniotomi. Pemantauan IVCDI sebelum dan setelah operasi kraniotomi dapat dijadikan acuan pemantauan kecukupan volume cairan pada pasien yang menjalani kraniotomi untuk pengangkatan tumor otak</p> Ahmad Solihin Siregar, Rr Sinta Irina, Andriamuri P. Lubis Copyright (c) 2024 Ahmad Solihin Siregar, Rr Sinta Irina, Andriamuri P. Lubis https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/334 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 Perbandingan Efektivitas Efedrin dengan Ondansetron dalam Mencegah Kejadian Hipotensi dan Bradikardi pada Anestesi Spinal https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/330 <p><strong> <span class="fontstyle0">Latar Belakang</span></strong><span class="fontstyle2"><strong>:</strong> Anestesi spinal menyebabkan hipotensi. Berbagai metode telah dilakukan untuk mencegah konsekuensi kardiovaskular dari blok subarachnoid. Efedrin adalah suatu zat stereoisomer dari pseudoefedrin yang bekerja pada stimulasi pada reseptor alfa dan beta-adrenoreseptor, yang umumnya digunakan sebagai vasopressor pada kondisi hipotensi selama anestesi. Ondansetron bekerja pada sentral dan perifer, efek sentralnya dimediasi oleh efek antagonis reseptor serotonin 5-HT3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas efedrin dengan ondansetron dalam mencegah hipotensi dan bradikardi pada anestesi spinal.<br></span><strong><span class="fontstyle0">Metode: </span></strong><span class="fontstyle2">Penelitian ini dilakukan pada 57 pasien yang menjalani prosedur pembedahan abdomen bawah, ginekologi, ekstremitas bawah yang terjadwal elektif dengan anestesi spinal. Sampel dipilih menggunakan metode </span><span class="fontstyle3">consecutive sampling</span><span class="fontstyle2">. Analisis data dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi variabel yang diteliti dan korelasi antar variabel.<br></span><span class="fontstyle0"><strong>Hasil:</strong> </span><span class="fontstyle2">Sebanyak 29 pasien dikelompokan dalam grup efedrin dan sebanyak 28 pasien dikelompokkan dalam grup ondansetron. Dari hasil analisis data, tidak didapatkan hasil yang bermakna dalam perbedaan antara kedua grup efedrin dan ondansetron pada variabel sistol, diastol, maupun </span><span class="fontstyle3">mean arterial pressure </span><span class="fontstyle2">(MAP) (p &gt; 0,05).<br></span><strong><span class="fontstyle0">Simpulan</span></strong><span class="fontstyle2"><strong>:</strong> Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ondansetron dan efedrin dalam mencegah bradikardia dan hipotensi pada pasien dengan anestesi spinal. Tidak terdapat hipotensi dan bradikardi dengan pemberian efedrin dan ondansetron sebelum pemberian obat spinal pada pasien anestesi spinal.</span></p> Ikrar Rananta Simanjuntak, Achsanuddin Hanafie, Qadri Fauzi Tanjung Copyright (c) 2024 Ikrar Rananta Simanjuntak, Achsanuddin Hanafie, Qadri Fauzi Tanjung https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/330 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 Delta Rasio PaO2/FiO2 dengan Luaran Pasien Sindroma Cedera Paru Akut (SCPA) di Intensive Care Unit https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/329 <p><strong>Latar Belakang:&nbsp;</strong> <span class="fontstyle0">Sindroma cedera paru akut (SCPA) adalah bentuk dari edema paru non kardiogenik,<br>akibat cedera alveolar sekunder hasil dari proses inflamasi, yang dapat menyebabkan hipoksemia refraktori, meningkatkan kekakuan paru dan merusak kemampuan paru untuk menghilangkan karbondioksida. rasio PaO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">/FiO</span><sub><span class="fontstyle0">2 </span></sub><span class="fontstyle0">dapat menjadi alat untuk mengidentifikasi kondisi pasien pada SCPA dan melihat tingkat keparahan pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat delta rasio PaO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">/ FiO</span><sub><span class="fontstyle0">2 </span></sub><span class="fontstyle0">terhadap luaran pada pasien SCPA di perawatan intensif.</span></p> <p><strong>Metode:</strong> <span class="fontstyle0">Populasi pada penelitian ini adalah pasien dengan SCPA di unit perawatan intensif RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sampel penelitian merupakan pasien yang dirawat di unit perawatan intensif RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Diambil data mengenai karakteristik pasien, data mengenai rasio PaO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">/FiO</span><sub><span class="fontstyle0">2 </span></sub><span class="fontstyle0">pasien saat masuk, rasio PaO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">/FiO</span><sub><span class="fontstyle0">2 </span></sub><span class="fontstyle0">pasien saat 24 jam dirawat, dan menghitung nilai delta rasio PaO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">/FiO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">. Dilakukan analisis secara statistik menggunakan program SPSS 26.</span><br>.</p> <p><strong>Hasil: </strong><span class="fontstyle0">Hemoglobin, hematokrit, </span><span class="fontstyle2">sequential organ failure assessment </span><span class="fontstyle0">(SOFA) dan albumin didapatkan perbedaan bermakna pada kedua kelompok (p &lt; 0,05). SCPA berat memiliki angka mortalitas paling </span><span class="fontstyle0">tinggi dan dengan nilai statistik signifikan (p &lt; 0,001). SCPA berat terhadap lama rawat (28 hari) </span><span class="fontstyle0">memiliki angka lama rawat inap paling tinggi dan dengan nilai statistik signifikan (p &lt; 0,001). Pada analisis rasio PaO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">/FiO</span><sub><span class="fontstyle0">2 </span></sub><span class="fontstyle0">dan delta rasio PaO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">/FiO</span><sub><span class="fontstyle0">2 </span></sub><span class="fontstyle0">terhadap luaran, kelompok rasio PaO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">/FiO</span><sub><span class="fontstyle0">2 </span></sub><span class="fontstyle0">hari 2 dan delta rasio PaO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">/FiO</span><sub><span class="fontstyle0">2 </span></sub><span class="fontstyle0">secara statistik signifikan terhadap mortalitas dengan nilai (p &lt; 0,005). Kelompok rasio PaO</span><sub><span class="fontstyle0">2</span></sub><span class="fontstyle0">/FiO</span><sub><span class="fontstyle0">2 </span></sub><span class="fontstyle0">hari 1 dan 2 didapatkan hasil yang signifikan terhadap lama rawat (p &lt; 0,005).</span><strong><br></strong></p> <p><strong>Simpulan:</strong> Delta rasio PaO<sub>2</sub>/FiO<sub>2</sub> dapat dijadikan sebagai prediktor angka mortalitas dan lama rawat terhadap pasien SCPA di perawatan intensif.</p> Herwin, Syamsul Hilal Salam, Faisal Muchtar Copyright (c) 2024 Herwin, Syamsul Hilal Salam, Faisal Muchtar https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/329 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 Perbandingan Ekokardiografi Transtorakal dan Ultrasonic Cardiac Output Monitor dalam Menilai Respon Terapi Cairan pada Pasien Sepsis https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/328 <p><strong>Latar belakang: </strong>Pada sepsis terjadi deplesi volume intravaskular, sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang akurat dan non-invasif untuk pemantauan hemodinamik. Ekokardiografi transtorakal (ETT) telah menjadi standar baku. <em>Ultrasonic cardiac output monitor </em>(USCOM) adalah alat pemantauan hemodinamik non-invasif, yang menggunakan gelombang ultrasonik Doppler. USCOM dapat mengukur <em>cardiac output </em>(CO), <em>stroke volume</em> (SV), <em>stroke volume respiratory variation</em> (SVV), dan beberapa parameter hemodinamik lainnya.</p> <p><strong>Metode: </strong>Penelitian ini merupakan <em>pretest-posttest study </em>dengan total sampel sejumlah 40 pasien yang dilakukan pemeriksaan dengan ETT dan USCOM dalam menilai respon terapi cairan pada pasien sepsis.</p> <p><strong>Hasil: </strong>SVV dengan menggunakan TTE sebelum terapi cairan (T0) dengan rerata sebesar 9,45 ± 2,51, dimana pasien yang respon terhadap cairan sebesar 27 pasien&nbsp; (67,5%). SVV dengan menggunakan USCOM sebelum terapi cairan (T0) dengan&nbsp; rerata sebesar 9,14 ± 2,9, dimana pasien yang respon terhadap cairan sebesar 24&nbsp; pasien (60%).</p> <p><strong>Simpulan</strong>: Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ETT dengan USCOM untuk menilai respon terapi cairan pasien sepsis yang dirawat di ICU Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.</p> Andrio Farel Edward Gultom, Bastian Lubis, Dadik Wahyu Wijaya Copyright (c) 2024 Andrio Farel Edward Gultom, Bastian Lubis, Dadik Wahyu Wijaya https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/328 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 Erector Spinae Plane Block Menunjang Stabilitas Hemodinamik dan Analgesia pada Video-Assisted Thoracoscopy Surgery: Sebuah Laporan Kasus https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/318 <p><strong> <span class="fontstyle0">Latar Belakang: </span></strong><span class="fontstyle2">Tindakan pembedahan </span><span class="fontstyle3"><em>video-assisted thoracoscopic surgery</em> </span><span class="fontstyle2">(VATS) memiliki nyeri yang tidak cukup dikendalikan menggunakan agen analgesik intravena dan hemosinamik tidak stabil intraoperatif. Dalam laporan kasus ini kami menambahkan teknik regional </span><em><span class="fontstyle3">erector spinae plane block </span></em><span class="fontstyle2">(ESPB) dengan menggunakan anestesi lokal dosis rendah dan terbukti memperbaiki kualitas nyeri dan hemodinamik intraoperatif.<br></span><strong><span class="fontstyle0">Ilustrasi Kasus: </span></strong><span class="fontstyle2">Laki-laki berusia 51 tahun dengan diagnosis tumor paru sinistra malignansi dan tuberkulosis paru diterapi fase lanjutan. Rontgen toraks pneumonia dan fibrosis zona atas kiri. Pasien status fisik ASA III dengan VATS menggunakan anestesia umum (GA-OTT DLT kiri) dan ESPB. ESPB setinggi T5 dengan anestesia lokal bupivakain 0,15% volume 15 mL. Hemodinamik durante stabil dengan fluktuasi minimal. Kondisi pasien pascaoperasi stabil dengan NRS 1.<br></span><span class="fontstyle0"><strong>Simpulan:</strong> </span><span class="fontstyle2">Analgesik multimodal ESPB menurunkan kebutuhan opioid intraoperatif dibandingkan anestesia umum tunggal. Keunggulan ESPB adalah memberikan kestabilan hemodinamik intraoperatif pada VATS.</span></p> Prameita Rahmawati, Ian Tirta, Marilaeta Cindryani Ra Ratumasa Copyright (c) 2024 Prameita Rahmawati, Ian Tirta, Marilaeta Cindryani Ra Ratumasa https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/318 Fri, 28 Jun 2024 00:00:00 +0700 Kompleksitas Tindakan De-resusitasi pada Pasien Maternal: Fokus pada Kegagalan Resusitasi https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/327 <p><strong> <span class="fontstyle0">Latar Belakang: </span></strong><span class="fontstyle2">De-resusitasi mengacu pada penghilangan cairan secara agresif melalui diuretik dan terapi penggantian ginjal dengan target balans negatif yang merupakan prediktor independen untuk bertahan hidup pada pasien ICU.<br></span><strong><span class="fontstyle0">Ilustrasi Kasus: </span></strong><span class="fontstyle2">Pasien perempuan berusia 29 tahun dengan diagnosis awal Gravida 27 minggu dengan edema pulmonum, dan gagal napas tipe 1. Klinis pasien ditemukan dengan distres napas berat dengan efusi pleura masif serta edema paru kardiogenik. Untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat dilakukan intubasi dilanjutkan dengan ventilasi mekanik. Pasien kemudian dilakukan De-resusitasi dengan target keseimbangan cairan negatif melalui pemberian diuretika (furosemide). De-resusitasi dilakukan tanpa mempertimbangkan untuk melakukan resusitasi, optimalisasi, dan stabilisasi. Hal ini yang mungkin menjadi salah satu poin penanganan yang terlewati di mana pasien mungkin terjadi hipoperfusi pada saat awal masuk. Pemeriksaan inisial objektif serial dan kontinyu untuk menilai perfusi dan mikrosirkulasi serta pemantauan hemodinamik dinamis tidak dilakukan karena keterbatasan sumber daya dan alat. Hal ini juga menjadi keterbatasan dan tantangan dalam penanganan pasien kritis di mana terjadi kesulitan menentukan tindakan dan acuan untuk<br>intervensi pada pasien. De-resusitasi dilakukan dan sudah tercapai balans negatif pada hari kedua perawatan. Perkembangan oksigenasi pasien dipantau setiap harinya melalui pemeriksaan analisa gas darah serial dan cenderung terus memburuk. Pasien dicurigai mengalami sindrom peningkatan permeabilitas global yang menyebabkan pasien jatuh dalam sindrom kegagalan organ multipel sampai akhirnya meninggal.<br></span><strong><span class="fontstyle0">Simpulan: </span></strong><span class="fontstyle2">De-resusitasi bukan suatu hal yang sederhana. Pemantauan dan parameter objektif yang baik bisa menjadi tuntunan dalam menentukan intervensi yang tepat dan berdampak pada luaran pasien yang lebih baik</span></p> Kristian Felix Wundiawan, Marilaeta Cindryani Ra Ratumasa Copyright (c) 2024 Kristian Felix Wundiawan, Marilaeta Cindryani Ra Ratumasa https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/327 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 Pengendalian Urine Output pada Diabetes Insipidus Sentral dengan Hipernatremia Berat Pasca Traumatic Brain Injury https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/347 <p><strong> <span class="fontstyle0">Pendahuluan: </span></strong><span class="fontstyle2">Diabetes insipidus sentral (DIS) merupakan komplikasi cedera sekunder pada <em>t</em></span><em><span class="fontstyle3">raumatic brain injury </span></em><span class="fontstyle2">(TBI). Cedera neurohipofisis menyebabkan insufisiensi hipofisis posterior untuk mensekresi <em>a</em></span><em><span class="fontstyle3">rginine vasopressin </span></em><span class="fontstyle2">(AVP) dalam kondisi hiperosmolalitas. Prevalensi hipernatremia pada pasien dengan TBI lebih dari 35% dengan kemungkinan penyebab dehidrasi dan hipovolemia dengan tingkat mortalitas mencapai 86,8%.<br></span><strong><span class="fontstyle0">Ilustrasi Kasus: </span></strong><span class="fontstyle2">Kami melaporkan sebuah kasus dari pria berusia 20 tahun dengan DIS dan hipernatremia berat pasca TBI. Pasien menjalani operasi pemasanganan </span><em><span class="fontstyle3">ventriculoperitoneal shunt </span></em><span class="fontstyle2">dengan perawatan pasca operasi di ruang rawat intensif. Ditemukan poliuria dengan <em>urine output</em> 3,2 ml/kg/jam dengan kadar natrium 190 mmol/L. Koreksi hipernatremia dengan KA-EN 3B intravena dan intake cairan per oral diberikan sebagai pengganti </span><span class="fontstyle3">free water deficit</span><span class="fontstyle2">. Desmopressin oral diberikan sebagai kompensasi defisiensi AVP untuk mengurangi kehilangan cairan yang berlangsung. Respon baik tercapai pada hari kedua perawatan, ditunjukkan dengan penurunan <em>urine </em></span><em><span class="fontstyle3">output </span></em><span class="fontstyle2">hingga 1,4 ml/kg/jam dan penurunan kadar natrium dengan target 10-12 meq/L/hari. Efek samping pemberian desmopressin tidak ditemukan pada pasien ini.<br></span><strong><span class="fontstyle0">Simpulan</span></strong><span class="fontstyle2"><strong>:</strong> Kasus ini menunjukkan bahwa pemantauan ketat dan terapi yang sesuai menghasilkan luaran yang baik pada pasien DIS dengan hipernatremia berat pasca TBI.</span> </p> Yolanda Jenny Pratana, I Putu Pramana Suarjaya, Tjokorda GA Senapathi, Cynthia Dewi Sinardja Copyright (c) 2024 Yolanda Jenny Pratana, I Putu Pramana Suarjaya, Tjokorda GA Senapathi, Cynthia Dewi Sinardja https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/347 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 Bleeding Following Pediatric Liver Transplantation: A Brief Overview https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/382 <p><span class="fontstyle0">End-stage liver disease (ESLD) occasionally needs liver transplantation (LT) as a life-saving treatment. In pediatric population, LT procedure is more complicated than adults, since they are mainly caused by extrahepatic cholestasis, has a variety of age groups, and has various infection susceptibilities. Furthermore, there is a complication related to LT, such as bleeding, which cannot be disregarded because it may aggravate patients’ conditions and necessitate reoperation. Moreover, in the case of hepatic artery thrombosis and portal vein thrombosis, which is caused by severe bleeding, patients and grafts’ survival may be significantly reduced. In this review, we are discussing bleeding following LT phenomena from the basic introduction, pathophysiology, prevention, monitoring, and treatment</span> </p> Ferriansyah Gunawan, Andi Ade Wijaya Ramlan Copyright (c) 2024 Ferriansyah Gunawan, Andi Ade Wijaya Ramlan https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/382 Sun, 30 Jun 2024 00:00:00 +0700 A Meta-Analysis of Dextrose Infusion as Perioperative Strategy on Preventing Postoperative Nausea and Vomiting https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/384 <p><strong>Introduction:</strong> Dextrose infusion was introduced as a non-pharmacological perioperative strategy to decrease the PONV incidence. However, current published studies reported remain inconsistent and debatable results regarding the efficacy. This research was conducted to improve the evidence-based perioperative strategies of administering dextrose infusion to prevent PONV.</p> <p><strong>Method:</strong> A literature search was conducted for randomized controlled trial studies (RCTs) in patients who administered dextrose infusion compared to other infusion fluid perioperatively. A quantitative analysis using Review Manager 5.4 was performed with a 95% confidence interval that was visualized in the forest plot graph using the fixed-effects or random-effects model based on the heterogeneity.</p> <p><strong>Results</strong>: A total of 18 RCTs studies analyzed demonstrated there were significant differences in composite PONV (RR, 0.66, 95% CI 0.60, 0.74; P &lt; 0.00001; I<sup>2</sup>=46%), patients with postoperative antiemetic rescue requirements (RR, 0.67, 95% CI 0.53, 0.86; P &lt; 0.001; I<sup>2</sup>=68%), and postoperative blood glucose levels (SMD, 2.63, 95% CI 1.76, 3.50; P &lt; 00001; I<sup>2</sup>=97%). However, there were insignificant results in PONV severity (SMD, -0.94, 95% CI -2.20, 0.31; P = 0.14; I<sup>2</sup>=97%), patients with analgesic requirements (RR, 0.84, 95% CI 0.60, 1.19; P = 0.33; I<sup>2</sup>=81%), dose of analgesic requirements (SMD, -2.31, 95% CI -5.76, 1.14; P = 0.19; I<sup>2</sup>=99%), and PACU stay (MD, -24.73, 95% CI -66.07, 16.61; P &lt; 0.24; I<sup>2</sup>=99%).</p> <p><strong>Conclusion: </strong>This meta-analysis demonstrated that administering dextrose infusion perioperatively prevents both the PONV incidence and postoperative rescue antiemetic requirements, and also increase postoperative blood glucose levels. However, dextrose infusion is not associated with reducing the PONV severity, postoperative analgesic requirements, a dose of postoperative analgesic use, and PACU stay.</p> <p>.</p> Rifaldy Nabiel Erisadana, Muhamad Rizal Hadi Pratama; Faliqul Bahar Muhammad; Taufiq Gemawan, Lia Fatmarita, Uli Artha Ekawaty, Syahrul Mubarak Danar Sumantri Copyright (c) 2024 Rifaldy Nabiel Erisadana, Muhamad Rizal Hadi Pratama, Faliqul Bahar Muhammad, Taufiq Gemawan, Lia Fatmarita, Uli Artha Ekawaty, Syahrul Mubarak Danar Sumantri https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0 https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/384 Sun, 30 Jun 2024 09:38:53 +0700