Majalah Anestesia & Critical Care
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal
<p>MACC is an official journal of The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (PERDATIN). This journal is an open-access medical journal double-blind peer-reviewed published quarterly (February, June, and October). This journal considers articles on all aspects of anesthesiology, critical care, perioperative care, and pain management. MACC encourages authors from any country in the world to submit manuscript on anesthesia and related subjects. We accept original articles, review articles, case reports, evidence-based case reports (EBCR), and letters to the editor/editorial.</p>Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)en-USMajalah Anestesia & Critical Care2502-7999Anestesia Bedah Oftalmologi: Peran Anestesia Regional
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/438
<p>Kemajuan teknologi bedah oftalmologi memungkinkan banyak prosedur dilakukan secara one-day care. Seiring dengan meningkatnya populasi lanjut usia dan bayi prematur, permintaan akan teknik anestesia yang lebih aman dan minim efek sistemik terus bertambah. Hal ini menuntut spesialis anestesiologi untuk terus menyempurnakan teknik anestesia, dengan mempertimbangkan kebutuhan pasien, kondisi pembedahan, dan preferensi operator. Pilihan anestesia untuk bedah mata mencakup anestesia topikal, regional, sedasi, umum, atau kombinasi. Anestesia lokoregional banyak digunakan karena prosedur oftalmologi umumnya singkat dan bersifat ambulatori, memungkinkan pemulihan cepat. Teknik ini juga bermanfaat bagi pasien berisiko tinggi dan tidak memerlukan puasa. Beberapa teknik lokoregional yang digunakan antara lain blok retrobulbar, peribulbar, dan subtenon. Blok retrobulbar mulai ditinggalkan karena risiko komplikasi yang lebih tinggi, sementara blok peribulbar dan subtenon lebih disukai karena efektivitas dan keamanannya. Blok subtenon menggunakan kanula tumpul, mengurangi risiko perforasi bola mata dan toksisitas obat. Teknik ini lebih aman bagi pasien dengan terapi antikoagulan, meskipun dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva atau kemosis. Studi terbaru menunjukkan superioritas blok subtenon dibandingkan peribulbar dalam pembedahan vitreoretina, meskipun adopsi teknik ini masih menghadapi tantangan. Kurangnya familiaritas, hambatan operasional, dan biaya alat menjadi kendala utama. Di Indonesia, perkembangan anestesia oftalmik semakin pesat, didukung oleh PERDATIN dan peningkatan pelatihan serta penelitian. Pemahaman mendalam mengenai berbagai teknik anestesia sangat penting agar anestesiolog dapat memilih metode yang optimal bagi setiap pasien, meningkatkan efisiensi layanan, dan menjamin keselamatan pasien bedah mata.</p>Aino Nindya Auerkari
Copyright (c) 2025 Aino Nindya Auerkari
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-284311210.55497/majanestcricar.v43i1.438Perbandingan Efektivitas antara Blok Subtenon dengan Blok Peribulbar pada Pembedahan Vitreoretinal
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/374
<p><strong>Latar Belakang:</strong> Penyakit vitreoretinal adalah penyebab umum gangguan penglihatan dan kebutaan. <br>Anestesi regional telah mendapatkan perhatian yang lebih luas, terutama dalam berbagai bedah mata, mayoritas pasien yang mendapatkan regional anestesi adalah blok nervus oftalmikus dengan blok subtenon sebanyak 46,9%, peribulbar 19,5%, dan retrobulbar 0,5%. Pemilihan anestesi lokal dan regional yang tepat pada bedah mata tergantung pada prosedur yang direncanakan, durasi yang diperlukan, dan karakteristik pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan efektivitas dari blok subtenon dan blok peribulbar pada operasi vitreoretinal.</p> <p><strong>Metode:</strong> Desain penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal. Populasi penelitian adalah pasien yang menjalani prosedur pembedahan elektif vitreoretinal. Sampel penelitian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok blok subtenon dan kelompok blok peribulbar. Mula kerja dan lama kerja blok sensorik dan motorik dicatat. Parameter hemodinamik dinilai sebelum blok peribulbar, 15 menit setelah injeksi, dan setiap 15 menit sampai akhir operasi. Dilakukan pencatatan kebutuhan blok tambahan selama pembedahan pada tiap kelompok.</p> <p><strong>Hasil:</strong> Tidak ditemukan perbedaan mula kerja dan lama kerja blok sensorik pada kedua kelompok. Terdapat perbedaan mula kerja blok motorik pada kedua kelompok (p=0,031). Tidak ditemukan perbedaan lama kerja blok motorik pada kedua kelompok. Tidak ditemukan perbedaan kebutuhan blok tambahan pada kedua kelompok (p=0,210).</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Blok subtenon dan blok peribulbar sama-sama dapat digunakan pada pembedahan vitreoretinal secara efektif namun blok subtenon memberikan hasil yang lebih baik.</p>Sander SonambelaAndi SalahuddinSyamsul Hilal SalamSyafri Kamsul ArifAndi Muhammad Takdir MusbaMuhammad Rum
Copyright (c) 2025 Sander Sonambela, Andi Salahuddin, Syamsul Hilal Salam, Syafri Kamsul Arif, Andi Muhammad Takdir Musba, Muhammad Rum
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-2843131110.55497/majanestcricar.v43i1.374Hubungan Intra-abdominal Pressure Terhadap Gastric Residual Volume pada Pasien Sepsis
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/375
<p><strong>Latar Belakang:</strong> Sepsis merupakan salah satu penyebab terjadinya <em>Abdominal Compartment Syndrome</em> (ACS). ACS muncul apabila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra-abdominal lebih dari 20 mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg. Hipertensi intra-abdominal (IAH) dan ACS telah menjadi penyebab serius terhadap morbiditas dan mortalitas pada pasien bedah dan medis kritis dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan <em>intra-abdominal pressure</em> (IAP) menjadi salah satu elemen pengukuran parameter fisiologis rutin pada pasien kritis dan dapat menunjukkan prognosis.</p> <p><strong>Metode:</strong> Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain <em>cross-sectional</em> untuk mencari hubungan antara IAP terhadap <em>Gastric Residual Volume</em> (GRV) pada pasien sepsis di <em>Intensive Care Unit</em> (ICU). Subjek penelitian diambil dengan teknik <em>consecutive sampling</em> hingga jumlah subjek penelitian terpenuhi.</p> <p><strong>Hasil:</strong> Hubungan IAP terhadap GRV menunjukkan bahwa rerata IAP pada T0 sebesar 17,7 ± 1,62 berkorelasi dengan rerata GRV T0 sebesar 263,75 ± 11,34. Sementara itu, rerata IAP pada T1 sebesar 15,7 ± 1,26 berkorelasi dengan rerata GRV T1 sebesar 243,75 ± 12,79. Analisis statistik menunjukkan nilai p <0,05, yang mengindikasikan hubungan yang signifikan antara IAP dan GRV dengan nilai r=0,625. Korelasi ini bersifat positif, yang berarti semakin tinggi nilai IAP, maka semakin tinggi pula nilai GRV.</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Terdapat hubungan IAP terhadap GRV pada pasien sepsis di ICU RSUP H. Adam Malik Medan di mana dapat disimpulkan bahwa peningkatan IAP berkorelasi dengan peningkatan GRV.</p>Miftah Furqon AuliaBastian LubisAndriamuri Primaputra Lubis
Copyright (c) 2025 Miftah Furqon Aulia, Bastian Lubis, Andriamuri Primaputra Lubis
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-28431121910.55497/majanestcricar.v43i1.375Hubungan Lama Rawat Inap dengan Lepas dari Ventilasi Mekanik pada Pasien dengan Percutaneous Dilatation Tracheostomy
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/365
<p><strong>Latar Belakang:</strong> <em>Percutaneous Dilatation Tracheostomy</em> (PDT) adalah prosedur invasif untuk masalah pernapasan yang memerlukan ventilasi mekanik untuk mendukung fungsi pernapasan. PDT sering dilakukan di unit perawatan intensif (ICU) pada pasien yang sulit disapih dari ventilasi mekanik. Prosedur ini diharapkan dapat mempercepat pelepasan dari ventilasi mekanik serta mengurangi biaya perawatan.</p> <p><strong>Metode</strong>: Penelitian ini bersifat retrospektif yang menggambarkan profil pasien yang dilakukan PDT. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah <em>total sampling</em>. Sampel merupakan rekam medis pasien yang dilakukan tindakan trakeostomi pada tahun 2022 di ICU RSUP H. Adam Malik.</p> <p><strong>Hasil:</strong> Terdapat hubungan antara lama rawat inap dan lepas dari ventilasi mekanik pada pasien pasca PDT (nilai p=0,033). Pasien dengan rawat inap yang lebih lama cenderung memerlukan waktu yang lebih lama untuk lepas dari ventilasi mekanik. Rerata lama rawat inap di ICU adalah berkisar 20,09 ± 6,36 hari dan lepas dari ventilasi mekanik pada pasien yang sudah dilakukan PDT berkisar 4 ± 1,44 hari. Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan berbeda-beda pada pasien tergantung kondisi dan penyakit yang diderita, namun diperoleh dari penelitian ini biaya selama rawatan di ICU dengan pasien setelah diberikan tindakan PDT <14 hari lebih rendah daripada pasien yang dilakukan PDT >14 hari.</p> <p><strong>Simpulan:</strong> PDT pada pasien <14 hari lebih disarankan karena durasi lepas dari ventilasi mekanik lebih pendek, sehingga lama rawat inap di ICU lebih singkat dan biaya perawatan di ICU dapat berkurang. Selain itu, upaya yang terkoordinasi dan perawatan yang tepat harus dilakukan agar dapat mempercepat pemulihan pasien.</p>Rizki Pratama SiagianBastian LubisSinta Irina
Copyright (c) 2025 Rizki Pratama Siagian, Bastian Lubis, Sinta Irina
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-28431202710.55497/majanestcricar.v43i1.365The Accuracy of Yoon’s Formula for Predicting Central Venous Catheter Depth in Indonesian Pediatric CHD Patients: A Cross Sectional Study
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/419
<p><strong>Introduction</strong>: A central venous catheter is a routinely inserted tool by anesthesiologists in open-heart surgery. However, incorrect central venous catheter placement depth may lead to complications or suboptimal usage. Yoon’s research in 2006 was done in paediatrics with congenital heart disease in Asia and developed a prediction formula for the depth of central venous catheter. This study aims to prove if Yoon’s formula can be applied to pediatric patients with congenital heart disease in Indonesia.</p> <p><strong>Methods</strong>: This analytic observational study, with a cross-sectional design, involved 38 patients undergoing open-heart surgery in RSCM. Yoon’s formula determines the depth of central venous catheter placement. Transesophageal echocardiography assessed the position of the tip of the central venous catheter from the cavoatrial junction to confirm the depth’s accuracy. </p> <p><strong>Results</strong>: Yoon’s formula can predict the optimal depth of the central vein catheter 63.16% of the time. There was no complication before central venous catheter placement. This study is limited to right internal jugular vein placements, reducing its generalizability to other insertion sites. Further research with a larger sample and varied approaches is needed to enhance accuracy and develop a more suitable formula.</p> <p><strong>Conclusion</strong>: Yoon’s formula is inappropriate for predicting the depth of central vein catheters in pediatric patients with congenital heart disease in Indonesia, but it can still be applied clinically<strong>.</strong></p>Adinda Meidisa AkhmadRatna Farida SoenartoAldy HeriwarditoEloisa Nathania
Copyright (c) 2025 Adinda Meidisa Akhmad, Ratna Farida Soenarto, Aldy Heriwardito, Eloisa Nathania
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-28431283610.55497/majanestcricar.v43i1.419Perbandingan Bupivakain 0,5% 15 mg dan Fentanil 25 mcg dengan Bupivakain 0,5% 15 mg dan Morfin 100 mcg terhadap Nilai Oksigenasi Serebral pada Pasien yang Menjalani Anestesi Spinal
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/359
<p><strong>Latar Belakang:</strong> Salah satu teknik pemantauan oksigenasi jaringan yaitu <em>near-infrared spectroscopy</em> (NIRS). Anestesi spinal menurunkan oksigenasi serebral (rSO<sub>2</sub>) pada penggunaan fentanil dan morfin sebagai adjuvan dari bupivakain.</p> <p><strong>Metode</strong>: Penelitian ini merupakan penelitian randomized control trial, dengan tujuan untuk mengetahui perbandingan rSO<sub>2</sub> dan hemodinamik pada pasien yang menjalani anestesi spinal. Didapatkan total sampel 36 pasien yang dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok yang mendapat bupivakain 0,5% 15 mg ditambah fentanil 25 mcg dan bupivakain 0,5% 15 mg ditambah morfin 100 mcg. Nilai rSO<sub>2</sub> dinilai pada sebelum tindakan spinal (T0), 5 menit setelah spinal (T1), dan 30 menit setelah anestesi spinal (T2). </p> <p><strong>Hasil</strong>: Rerata rSO<sub>2</sub> pada kelompok bupivakain dengan tambahan fentanil berkisar antara 68–72 pada sisi kiri dan kanan. Sementara itu, rerata rSO<sub>2</sub> pada kelompok bupivakain dengan tambahan morfin berkisar antara 69–70 pada kedua sisi. Terdapat perbedaan signifikan pada nilai rSO<sub>2</sub> pada T1 dan T2 kelompok bupivakain 0,5% 15 mg dengan fentanil 25 mcg dibandingkan dengan kelompok bupivakain 0,5% 15 mg dengan morfin 100 mcg. </p> <p><strong>Simpulan: </strong>Pada kelompok dengan tambahan fentanil, terjadi penurunan rSO<sub>2</sub> yang tidak signifikan pada T0 dan T1 di kedua sisi kepala, namun penurunan yang signifikan ditemukan pada T2. Sementara itu, pada kelompok dengan tambahan morfin, terjadi penurunan rata-rata rSO<sub>2</sub> dari T0 ke T1 dengan nilai penurunan yang tidak signifikan, tetapi penurunan rSO<sub>2</sub> yang signifikan ditemukan pada kedua sisi kepala pada T2. Secara keseluruhan, kedua kelompok obat memberikan pengaruh yang serupa terhadap perubahan rSO<sub>2</sub>.</p>Nicholas Hamonangan SibaraniSinta IrinaTasrif Hamdi
Copyright (c) 2025 Nicholas Hamonangan Sibarani, Sinta Irina, Tasrif Hamdi
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-28431374310.55497/majanestcricar.v43i1.359Perbandingan Deksmedetomidin dan Deksametason Intravena untuk Pencegahan Menggigil setelah Anestesi Spinal pada Operasi Sectio Caesarea
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/367
<p><strong>Latar Belakang:</strong> <em>Postspinal anesthesia shivering</em> (PSAS) adalah aktivitas otot rangka involunter yang berulang sebagai respons fisiologis terhadap hipotermia inti untuk meningkatkan produksi panas metabolik. PSAS meningkatkan konsumsi O<sub>2</sub>, produksi CO<sub>2</sub>, katekolamin plasma, dan curah jantung. Terapi farmakologis yang digunakan untuk menjaga suhu adalah dexmedetomidin dan dexametason. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan deksmedetomidin dan deksametason intravena sebagai pencegahan menggigil setelah spinal anestesi pada operasi seksio sesarea.</p> <p><strong>Metode:</strong> Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara random tersamar ganda, untuk menilai perbandingan deksmedetomidin dan deksametason intravena sebagai pencegahan menggigil. Populasi yang terpilih akan dibagi secara acak menjadi dua kelompok, yaitu kelompok A (pemberian deksmedetomidin) dan B (pemberian deksametason). Kemudian dinilai parameter hemodinamik pada kedua kelompok dan menilai Intensitas menggigil dengan skala lima poin yang divalidasi oleh Crossley dan Mahajan, di mana derajat 0 = tidak menggigil, derajat 1 = piloereksi atau vasokonstriksi perifer tetapi tidak terlihat menggigil, derajat 2 = aktivitas otot hanya pada satu kelompok otot, derajat 3 = aktivitas otot lebih dari satu kelompok otot, dan derajat 4 = seluruh tubuh menggigil.</p> <p><strong>Hasil:</strong> Pada perbandingan kedua kelompok perlakuan didapatkan jumah sampel yang paling banyak mengalami kejadian menggigil ada pada kelompok B sebanyak 17 orang dibandingkan kelompok A sebanyak 6 orang. Pada analisis uji Chi Square didapatkan <em>p value</em> <0,05 yang menandakan perbedaan nilai kedua kelompok bermakna secara statistik.</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Deksmedetomidin lebih baik dalam mencegah kejadian <em>shivering</em> dibandingkan dengan <br>deksametason. </p>Dion Ricardo Dadik Wahyu WijayaMuhammad IhsanArlinda Sari Wahyuni
Copyright (c) 2025 Dion Ricardo, Dadik Wahyu Wijaya, Muhammad Ihsan, Arlinda Sari Wahyuni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-28431445210.55497/majanestcricar.v43i1.367Perbandingan Efek Antinosiseptif Isoflurane dan Sevoflurane Berdasarkan Refleks Dilatasi Pupil dan Kadar Norepinefrin dengan Menggunakan Konsentrasi Minimum Alveolar 1.0
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/369
<p><strong>Latar Belakang:</strong> Tantangan yang dihadapi berkaitan dengan penggunaan anestesi umum adalah dalam melakukan penilaian nyeri pada pasien yang tidak sadar. Refleks dilatasi pupil merupakan penilaian stimulasi berbahaya dan efek analgesik di bawah anestesi inhalasi. Diameter pupil juga dinyatakan sebagai ukuran kadar norepinefrin. Belum ada penelitian yang mengkaji perbandingan efek antinosiseptif antara <em>isoflurane</em> dan <em>sevoflurane</em> yang diukur dengan refleks dilatasi pupil dan kadar norepinefrin di bawah konsentrasi minimum alveolar yang ekuivalen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan efek antinosiseptif <em>isoflurane</em> dan <em>sevoflurane</em> berdasarkan refleks dilatasi pupil dan kadar norepinefrin dengan menggunakan konsentrasi minimum alveolar 1.0. </p> <p><strong>Metode:</strong> Desain penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal. Populasi penelitian yaitu seluruh pasien yang menjalani pembedahan dengan anestesi umum menggunakan <em>Laryngeal Mask Airway</em> (LMA). Sampel dibagi menjadi dua kelompok secara acak yaitu kelompok I (<em>isoflurane</em>) dan kelompok II (<em>sevoflurane</em>). Dilakukan preoksigenasi dengan menggunakan 1.0 MAC. Setelah target <em>bispectral index score</em> (BIS) 40-65 tercapai, dilakukan insersi LMA. Setelah tercapai MAC 1.0, dilakukan pengambilan sampel darah pertama untuk pemeriksaan kadar norepinefrin. Dilakukan pupilometri dan stimulasi tetanik, dicatat skor <em>pupillary pain index</em> (PPI) yang didapatkan, kemudian dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan kadar norepinefrin.</p> <p><strong>Hasil:</strong> Tidak terdapat perbedaan bermakna pada perbandingan skor PPI antara kelompok <em>isoflurane</em> dan <em>sevoflurane</em>. Kadar norepinefrin setelah stimulasi lebih tinggi secara signifikan pada kelompok <em>sevoflurane</em>.</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Efek antinosiseptif isoflurane setara dengan <em>sevoflurane</em> berdasarkan refleks dilatasi pupil. Efek antinosiseptif <em>sevoflurane</em> lebih baik dibandingkan <em>isoflurane</em> berdasarkan kadar norepinefrin. <em>Isoflurane</em> mungkin memiliki mekanisme antinosiseptif lain selain jalur norepinefrin.</p>Ahmad Ulil AlbabNur Surya WirawanRatnawatiSyafri Kamsul ArifAlamsyah Ambo Ala HusainAndi Adil
Copyright (c) 2025 Ahmad Ulil Albab, Nur Surya Wirawan, Ratnawati, Syafri Kamsul Arif, Alamsyah Ambo Ala Husain, Andi Adil
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-28431536510.55497/majanestcricar.v43i1.369Hubungan PCO2 Gap dengan Kejadian Awal Sepsis pada Pasien dengan Ventilasi Mekanik di Ruang Perawatan Intensif RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/370
<p><strong>Latar Belakang:</strong> Sepsis merupakan disfungsi organ yang disebabkan oleh gangguan respon imun inang terhadap infeksi. Perbedaan karbon dioksida vena ke arteri sentral, atau PCO<sub>2</sub> gap menjadi biomarker penyakit kritis. Namun, penanda ini memiliki keterbatasan karena parameter hemodinamik dan ScvO<sub>2</sub> tidak menjamin perfusi jaringan yang adekuat serta mortalitas dan kegagalan organ masih tinggi. Belum ada penelitian yang mengkaji hubungan PCO<sub>2</sub> gap pada pasien terventilasi mekanik dengan kejadian sepsis. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan PCO<sub>2</sub> gap sebagai prediktor kejadian sepsis pada pasien terventilasi mekanik di ruang perawatan intensif RSUP Wahidin Sudirohusodo.</p> <p><strong>Metode:</strong> Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif. Populasi penelitian adalah pasien yang menjalani prosedur pemasangan ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif. Pemeriksaan PCO<sub>2</sub> gap, yang mencakup PCO<sub>2</sub> arteri dan PCO<sub>2</sub> vena, dilakukan pada hari ke-1 pemasangan ventilasi mekanik (T0), hari ke-2 (T1), dan hari ke-3 (T2). Selain itu, dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang, serta evaluasi menggunakan <em>Sequential Organ Failure Assessment</em> (SOFA) dan Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (SIRS) untuk diagnosis sepsis pada T0, T1, dan T2.</p> <p><strong>Hasil:</strong> Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara PCO<sub>2</sub> gap dengan kejadian sepsis pada hari ke-1, ke-2, dan ke-3 setelah pemasangan ventilasi mekanik (p >0,05).</p> <p><strong>Simpulan:</strong> PCO<sub>2</sub> gap tidak berhubungan dengan tingkat kejadian sepsis dan menjadi prediktor yang kurang efektif dalam memprediksi kejadian sepsis pada hari ke-1, ke-2, dan ke-3 setelah pemasangan ventilasi mekanik.</p>Muhammad Rum BaderuSyamsul Hilal SalamAndi SalahuddinMuhammad Ramli AhmadFaisal MuchtarAndi Adil
Copyright (c) 2025 Muhammad Rum Baderu, Syamsul Hilal Salam, Andi Salahuddin, Muhammad Ramli Ahmad, Faisal Muchtar, Andi Adil
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-28431667510.55497/majanestcricar.v43i1.370Perbandingan Preloading Cairan 20 cc/kgBB dan 30 cc/kgBB setelah One-Hour Bundle terhadap Nilai Laktat pada Pasien Sepsis di Ruang ICU
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/371
<p><strong>Latar Belakang:</strong> Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat respons tubuh yang tidak teratur terhadap infeksi. Kadar laktat serum sering digunakan sebagai biomarker kegagalan organ, di mana kadar yang lebih tinggi menunjukkan tingkat kerusakan yang lebih parah. Meskipun preloading cairan 20–30 cc/kgBB direkomendasikan dalam resusitasi sepsis pada periode <em>one-hour bundle</em>, efektivitas dosis yang berbeda masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan dosis preloading cairan 20 cc/kgBB dan 30 cc/kgBB terhadap kadar laktat pada pasien sepsis di RSUP H. Adam Malik.</p> <p><strong>Metode:</strong> Penelitian ini merupakan <em>randomized clinical trial</em> dengan metode <em>double-blind</em>, melibatkan 36 pasien sepsis yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok 1 (20 cc/kgBB) dan kelompok 2 (30 cc/kgBB). </p> <p><strong>Hasil:</strong> Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam kadar laktat 6 jam setelah loading cairan (p>0,05). Namun, terdapat perbedaan signifikan pada nilai klirens laktat (p=0,002), di mana kelompok 1 (32,55 ± 30,69 mmol/L) memiliki klirens lebih tinggi dibandingkan kelompok 2 (15,62 ± 50,61 mmol/L). </p> <p><strong>Simpulan:</strong> Preloading cairan 20 cc/kgBB setelah <em>one-hour bundle</em> meningkatkan nilai laktat klirens pada pasien sepsis.</p>Rendi SidiqTasrif HamdiLuwih BisonoYuki Yunanda
Copyright (c) 2025 Rendi Sidiq, Tasrif Hamdi, Luwih Bisono, Yuki Yunanda
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-28431768610.55497/majanestcricar.v43i1.371Teknik Anestesi pada Awake Craniotomy: Sebuah Laporan Kasus
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/401
<p><strong>Latar Belakang:</strong> <em>Awake craniotomy</em> adalah prosedur bedah saraf yang dilakukan pada pasien kondisi sadar yang umumnya dilakukan pada fokal epilepsi dan pengangkatan tumor otak di daerah vital. Prosedur ini memungkinkan pengangkatan lesi sambil menilai gejala yang dialami pasien secara <em>real-time</em>.</p> <p><strong>Ilustrasi Kasus:</strong> Laki-laki 33 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP H. Adam Malik Medan dengan keluhan nyeri kepala yang dirasakan sejak satu minggu yang lalu. Gejala ini semakin memberat dalam 12 jam terakhir disertai riwayat muntah dua kali. Pasien memiliki riwayat penyakit space-occupying lesion (SOL) intrakranial, riwayat kemoterapi 11 kali, dan riwayat operasi VP shunt. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis SOL intrakranial dengan masa residu tumor. SOL ini juga mengobliterasi ventrikel lateralis bilateral. Setelah mendapat penanganan awal, pasien kemudian dirujuk ke sejawat bedah saraf untuk penanganan lebih lanjut, sejawat bedah saraf memutuskan untuk melakukan tindakan kraniotomi stereotatik biopsi. Tindakan ini difasilitasi dengan teknik anestesi awake. Tindakan anestesi pada awake craniotomy ini menggunakan premedikasi intravena yaitu sulfas atropin 0,25mg, dexamethasone 5mg, fenitoin 50mg, diazepam 2,5mg, fentanil 100mcg, dexmetomidin 20mcg/jam. Sebelum dilakukan insisi <br>diberikan infiltrasi di daerah yang akan diinsisi menggunakan ropivikain 0,75% 20ml yang dicampur dengan lidokain 2% 4ml dan sebelum dilakukan burr-holl tengkorak di daerah kranium diberikan fentanil 50 mcg secara intravena.</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Dalam prosedur awake craniotomy, menjaga kesadaran pasien selama operasi memungkinkan tim medis untuk memantau fungsi vital di otak secara langsung, sehingga meminimalkan risiko kerusakan pada area otak yang kritis.</p>Fareza Rifki SimamoraLuwih BisonoTasrif HamdiJohn Frans SitepuAwi Tifani M Harahap
Copyright (c) 2025 Fareza Rifki Simamora, Luwih Bisono, Tasrif Hamdi, John Frans Sitepu, Awi Tifani M Harahap
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-28431879310.55497/majanestcricar.v43i1.401Manajemen Anestesi pada Pasien Pheochromocytoma dengan Tindakan Adrenalektomi: Laporan Kasus
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/417
<p><strong>Pendahuluan:</strong> Pheochromocytoma adalah tumor yang berasal dari sumsum adrenal atau rantai simpatik (paraganglioma) dan dapat menimbulkan tantangan selama anestesi, laringoskopi, serta prosedur intraoperatif. Pheochromocytoma merupakan salah satu tumor yang dapat berbahaya jika tidak dikelola dengan baik sebelum operasi. </p> <p><strong>Ilustrasi Kasus:</strong> Seorang wanita berusia 37 tahun dengan pheochromocytoma direncanakan menjalani adrenalektomi. Selama tiga bulan terakhir, mengalami pusing, keringat berlebihan, kecemasan, detak jantung tidak teratur, serta nyeri punggung bawah, dengan riwayat hipertensi resisten terhadap terapi. Pemeriksaan menunjukkan tekanan darah 161/102 mmHg, dengan hasil laboratorium normal, dan USG abdomen mengungkapkan tumor adrenal kanan berukuran 12x5 cm yang dicurigai sebagai pheochromocytoma.</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Manajemen farmakologis sebelum operasi, pengawasan ketat selama operasi, dan keseimbangan antara vasodilatasi dan vasokontriksi selama operasi sangat penting dalam manajemen perioperatif pheochromocytoma.</p>Faisal IrwandaNovita Anggraeni
Copyright (c) 2025 Faisal Irwanda, Novita Anggraeni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-28431949910.55497/majanestcricar.v43i1.417Capillary Leak Syndrome pada Pasien Sakit Kritis
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/408
<p><em>Capillary leak syndrome</em> (CLS) merupakan sindrom gangguan homeostasis cairan yang sering ditemukan pada penyakit kritis. Insiden sebenarnya dari sindrom kebocoran kapiler masih belum diketahui. Ciri utama CLS adalah permeabilitas kapiler yang mengakibatkan perpindahan cairan dan penurunan tekanan onkotik koloid. Tanda klinis CLS dapat mencakup ketidakstabilan hemodinamik, hipovolemia intravaskular, dan edema generalisata. Evaluasi kadar cairan ekstraseluler invasif dan non-invasif, penanda serum dan sistem penilaian CLS, indeks kebocoran pembuluh darah, dan mikroskop intravital dapat digunakan untuk mendiagnosis CLS. Penatalaksanaan CLS saat ini bertujuan untuk memperpendek durasi kebocoran kapiler, meningkatkan tingkat keberhasilan resusitasi, dan menghilangkan faktor predisposisi penyebab penyakit utama. Terapi CLS mencakup bantuan pernapasan, terapi cairan, peningkatan permeabilitas kapiler, <em>continuous blood purification</em>, menjaga <em>endothelial surface layer</em> (ESL), serta terapi eksperimental untuk stabilisasi endotel.</p>Haizah NurdinJokevin Prasetyadhi
Copyright (c) 2025 Haizah Nurdin, Jokevin Prasetyadhi
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-2843110011610.55497/majanestcricar.v43i1.408Strategi Evakuasi pada Kebakaran di Unit Perawatan Intensif di Indonesia
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/425
<p><strong>Latar Belakang:</strong> <em>Intensive Care Unit</em> (ICU) merupakan unit di mana pasien dengan penyakit kritis dirawat di rumah sakit. Kebakaran di ICU berpotensi menimbulkan ancaman signifikan terhadap keselamatan pasien dan petugas karena kondisi kritis pasien dan kompleksitas peralatan medis yang digunakan. Tinjauan literatur ini bertujuan untuk mengkaji strategi evakuasi ICU yang efektif selama keadaan darurat kebakaran.</p> <p><strong>Metode: </strong>Pencarian terhadap artikel ilmiah yang diterbitkan antara tahun 2000 dan 2024, yang membahas protokol, tantangan, dan keluaran evakuasi ICU pada bencana kebakaran melalui <em>Google Scholar</em> dan <em>Pubmed</em>. Hasil pencarian dibandingkan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia dan dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan strategi yang mampu laksana di Indonesia. </p> <p><strong>Hasil: </strong>Berbagai komponen diperlukan untuk strategi evakuasi kebakaran ICU yang efektif. Pendekatan strategi evakuasi kebakaran di ICU dimulai dari perencanaan respons bencana, pembuatan protokol, koordinasi dan komunikasi, pelatihan dan simulasi, serta perbaikan berkelanjutan terhadap protokol. Berdasarkan literatur yang ada dan peraturan perundangan yang berlaku, kami menyusun suatu strategi pendekatan komprehensif untuk evakuasi ICU pada bencana kebakaran di Indonesia.</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Keberhasilan evakuasi pasien di ICU memerlukan strategi multi-aspek yang disusun berdasarkan kesiapan fasilitas, kompetensi staf, penerapan protokol yang efektif, serta evaluasi berkelanjutan melalui simulasi dan analisis pasca evakuasi.</p>Ika Cahyo PurnomoErlangga PrasamyaBowo Adiyanto
Copyright (c) 2025 Ika Cahyo Purnomo, Erlangga Prasamya, Bowo Adiyanto
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-2843111713310.55497/majanestcricar.v43i1.425Telaah Sistematis Terhadap Analisis Penggunaan Algoritma Machine Learning untuk Acute Kidney Injury pada Pasien dengan Infark Miokard
https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/432
<p><em>Acute kidney injury</em> (AKI) merupakan kondisi yang umum terjadi dan memiliki kontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada pasien yang mengalami infark miokard. Identifikasi dini dan intervensi yang tepat pada pasien berisiko AKI sangat penting, terutama dalam konteks prosedur kardiovaskular seperti angiografi koroner dan bedah jantung. <em>Machine learning</em> (ML) tentunya berpotensi besar dalam mendukung deteksi dini AKI pada pasien dengan cedera miokard. Oleh karena itu, telaah sistematis ini bertujuan untuk menganalisis studi-studi terkini mengenai penggunaan <em>machine learning</em> untuk deteksi dini AKI pada pasien yang mengalami infark miokard dalam konteks angiografi koroner hingga bedah jantung. Dengan memahami peran teknologi ini, diharapkan dapat ditemukan cara-cara baru untuk meningkatkan deteksi dan pengelolaan AKI, serta mengurangi komplikasi yang terkait dengan cedera ginjal pada pasien kardiovaskular. Tinjauan sistematis ini dibuat berdasarkan dari panduan <em>Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis</em> (PRISMA). Basis data didapatkan dari Pubmed, Cochrane Central (Wiley), Embase (Elsevier), serta ClinicalTrials.gov menggunakan operator Boolean AND dan OR dimana dibatasi pencarian dari tahun 2014-2024. Penilaian kualitas studi menggunakan skor QUADAS. Teknologi <em>machine learning</em> dan AI menawarkan alat yang menjanjikan untuk meningkatkan akurasi prediksi, memungkinkan pengawasan yang lebih baik, dan intervensi yang lebih tepat waktu. Namun, beragam jenis algoritma dengan pendekatan yang berbeda dilibatkan dalam studi ini.Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengintegrasikan teknologi ini ke dalam praktik klinis sehari-hari dan meningkatkan penanganan pasien dengan risiko tinggi AKI.</p>Marilaeta Cindryani Ra RatumasaI Ketut SuryanaTjokorda Gde Agung SenapathiVanessa Juventia Hadiwijono
Copyright (c) 2025 Marilaeta Cindryani Ra Ratumasa, I Ketut Suryana, Tjokorda Gde Agung Senapathi, Vanessa Juventia Hadiwijono
https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0
2025-02-282025-02-2843113414210.55497/majanestcricar.v43i1.432