https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/issue/feedMajalah Anestesia & Critical Care2024-11-05T09:06:17+07:00Sekretariat MACCsekretariat.macc@gmail.comOpen Journal Systems<p>MACC is an official journal of The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (PERDATIN). This journal is an open-access medical journal double-blind peer-reviewed published quarterly (February, June, and October). This journal considers articles on all aspects of anesthesiology, critical care, perioperative care, and pain management. MACC encourages authors from any country in the world to submit manuscript on anesthesia and related subjects. We accept original articles, review articles, case reports, evidence-based case reports (EBCR), and letters to the editor/editorial.</p>https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/424 Terobosan Minimal Nyeri dan Cepat Pulih: Peran Blok Kuadratus Lumborum dalam Manajemen Nyeri Pediatrik Pascaoperasi Abdomen2024-11-05T09:06:16+07:00Aida Rosita Tantriaidatantri@gmail.com<p>Nyeri pasca-operasi pada pasien pediatrik, khususnya setelah pembedahan abdomen, memerlukan manajemen yang hati-hati untuk mencegah dampak negatif seperti gangguan mobilitas, kecemasan, dan trauma jangka panjang. Salah satu teknik yang efektif untuk mengatasi nyeri ini adalah Quadratus Lumborum Block (QLB), sebuah metode anestesi regional yang berkembang dari teknik truncal block. Berbeda dengan Transversus Abdominis Plane (TAP) block, QLB tidak hanya mengurangi nyeri somatik pada dinding perut, tetapi juga visceral melalui penyebaran anestesi lokal ke ruang paravertebral toraks. Teknik ini terbukti efektif dalam mengurangi kebutuhan opioid pada pasien pediatrik, yang sangat penting mengingat risiko efek samping opioid pada anak-anak, seperti depresi pernapasan dan ketergantungan. Keunggulan QLB juga terletak pada kemampuannya untuk memberikan analgesia multimodal, memungkinkan kontrol nyeri yang lebih baik dengan mengurangi efek samping obat sistemik. Namun, pelatihan yang memadai bagi tenaga kesehatan dalam melakukan QLB, terutama dengan panduan ultrasonografi, sangat diperlukan untuk memastikan keamanan dan efektivitas teknik ini. Dengan demikian, QLB memiliki potensi besar dalam meningkatkan manajemen nyeri pasca-operasi pada pasien pediatrik, mempercepat pemulihan, dan memberikan pengalaman pasca-operasi yang lebih nyaman.</p>2024-10-30T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Aida Rosita Tantrihttps://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/415Efficacy of Quadratus Lumborum Block Compared to Paravertebral Block on Pediatric Patients Undergoing Abdominal Surgery2024-11-05T09:06:15+07:00Putu Herdita Sudiantaraherdita.sudiantara@student.unuc.ac.id I Made Gede Widnyanagede_widnyana@unud.ac.idKadek Agus Heryana PutraAgusheryana@gmail.comI Putu Kurniyantaputu_kurniyanta@unud.ac.id Tjokorda Gde Agung Senapathitjoksenapathi@unud.ac.id<p><strong>Background:</strong> Abdominal surgery is a major procedure associated with severe postoperative pain in pediatric patients. Quadratus lumborum block (QLB) is considered an effective pain control in such cases. Paraverterbral block (PVB) is another option for postoperative pain management. The aim of this study was to compare the effectiveness of quadratus lumborum block with paravertebral block.</p> <p><strong>Methods:</strong> This single-blind randomized controlled trial included 22 pediatric patients who underwent abdominal surgery at Sanglah Hospital, Denpasar between August – October 2022. Research subjects were divided into 2 treatment groups; group A consisted of general anesthesia combined with quadratus lumborum block and group B consisted of general anesthesia combined with paravertebral block. Duration of analgesia was recorded based on the time to analgesic rescue, FLACC pain scale at 0, 2, 4, 6, 12 and 24 hours and total opioid consumption 24 hours after surgery. Statistical analyses were performed using SPSS.</p> <p><strong>Results:</strong> Eleven patients received QLB and PVB respectively. There was a significant difference in mean analgesia duration of 1287 ± 129.69 minutes compared to 750 ± 122.22 minutes (p < 0.001) (CI 95%: 425.18 – 649.36), median FLACC pain scale at 12 (1 (IQR 2) vs 4 (IQR 1)) and 24 hours postoperative (1 (IQR 2) vs 3 (IQR 1)) between QLB and PVB (p < 0.001 and p < 0.007). Mean 24-hour postoperative opioid consumption was significantly lower in the QLB compared to the PVB.</p> <p><strong>Conclusion:</strong> QLB has better effectiveness than PVB in pediatrics undergoing abdominal surgery.</p>2024-10-30T09:48:44+07:00Copyright (c) 2024 Putu Herdita Sudiantara, I Made Gede Widnyana, Kadek Agus Heryana Putra, I Putu Kurniyanta, Tjokorda Gde Agung Senapathihttps://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/368Gambaran Komplikasi Percutaneous Dilatational Tracheostomy pada Pasien Kritis di Intensive Care Unit (ICU) RSUP H. Adam Malik Medan2024-11-05T09:06:17+07:00Muhibbut Thibrimuhibbutthibri462@gmail.comMuhammad Ihsanmuhihsan@gmail.comBastian Lubisbastian.lubis@usu.ac.id<p><strong>Latar belakang: </strong><em>Percutaneous dilatational tracheostomy</em> (PDT) diindikasikan pada kegagalan ekstubasi, obstruksi jalan napas bagian atas, proteksi jalan napas, akses pembuangan sekresi napas serta untuk menghindari cedera orofaring dan laring yang serius akibat intubasi translaring yang berkepanjangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan bagaimana komplikasi yang dapat terjadi pada prosedur PDT. </p> <p><strong>Metode: </strong>Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan metode cross-sectional. Setelah diperoleh persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, dilakukan pengambilan sampel berupa rekam medis seluruh pasien kritis yang menjalani trakeostomi di ICU RSUP H. Adam Malik pada bulan Januari hingga Desember 2022.</p> <p><strong>Hasil: </strong>Dari total 37 pasien, perempuan (54%) lebih banyak dibandingkan laki-laki (46%). Pasien terbanyak berada pada rentang usia 40-60 tahun (43%). Diagnosis paling umum adalah masalah endokrin (26%), diikuti masalah pernapasan (21%), sementara masalah gastrointestinal (3%) adalah yang paling jarang di ICU. Indikasi trakeostomi terbanyak adalah gagal weaning ventilator (23 pasien), sedangkan yang paling sedikit adalah Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA) dengan 1 pasien. Sebagian besar trakeostomi dilakukan setelah lebih dari 7 hari perawatan di ICU (84%). Mayoritas trakeostomi pada pasien kritis di ICU RSUP H. Adam Malik dilakukan tanpa bantuan bronkoskopi. Komplikasi yang dialami pasien trakeostomi di ICU mencakup perdarahan ringan, emfisema subkutis, infeksi terlokalisir, dan cedera trakea.</p> <p><strong>Simpulan: </strong>Indikasi trakeostomi terbanyak adalah gagal weaning dan dilakukan dalam waktu rawatan lebih dari 7 hari. Komplikasi yang terjadi adalah perdarahan ringan, emfisema subkutis, infeksi terlokalisir, dan cedera trakea.</p>2024-10-30T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Muhibbut Thibri, Muhammad Ihsan, Bastian Lubishttps://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/341Perbandingan Pemberian Fentanil dengan dan tanpa Lidokain Intravena terhadap Hemodinamik Pasca-Intubasi Endotrakeal dan Nilai Nyeri Tenggorokan Pascaoperasi di RSUP H. Adam Malik Medan2024-11-05T09:06:11+07:00Yudhi Wijayadiponk225@gmail.comAndriamuri Primaputra Lubisandriamuri@usu.ac.idDadik Wahyu Wijayawijayadadik@gmail.com<p><strong>Latar Belakang:</strong> Intubasi endotrakeal dilakukan dalam berbagai situasi seperti kegagalan ventilasi noninvasif pada pasien perawatan intensif. Nyeri tenggorokan (<em>postoperative sore throat</em>) dan suara serak (<em>hoarseness</em>) merupakan komplikasi intubasi endotrakeal yang paling sering terjadi karena menyebabkan trauma mukosa jalan napas. Insiden nyeri tenggorokan dan suara serak akibat intubasi endotrakeal berkisar antara 5,7 – 90%, di mana 14,4 – 50% keluhan nyeri tenggorokan dan suara serak tersebut muncul segera setelah operasi.</p> <p><strong>Metode:</strong> Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda (randomized double blind controlled clinical trial), untuk mengetahui pemberian fentanil dengan kombinasi lidokain dan fentanil terhadap hemodinamik pasca-intubasi endotracheal tube.</p> <p><strong> Hasil:</strong> Usia rerata pada kelompok A yaitu 46-55 tahun, sedangkan pada kelompok B yaitu 26-35 tahun. Penurunan hemodinamik terutama <em>mean arterial pressure</em> (MAP) pasca-intubasi pada kelompok A (89,79 ± 8,74 mmHg) lebih kecil dibandingkan dengan kelompok B (91,81 ± 8,39 mmHg). Peningkatan <em>visual analogue score</em> (VAS) pada <em>sore throat</em> pasca-intubasi pada kelompok B (2,05 ± 0,74) lebih besar daripada kelompok A (1,81 ± 0,68). Pada uji normalitas didapatkan MAP pre-intubasi dan pasca-intubasi, serta <em>sore throat</em> pasca-intubasi terdistribusi normal (p > 0,05). Rerata <em>sore throat</em> kelompok A adalah 1,81 ± 0,68 dan kelompok B 2,05 ± 0,74 dengan nilai p sebesar 0,284 (p > 0,05).</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Tidak terdapat perbedaan bermakna <em>sore throat</em> pasca-intubasi pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada hemodinamik dan penilaian nyeri tenggorokan pascaoperasi pada pemberian fentanil dengan kombinasi lidokain intravena dan fentanil intravena pasca-intubasi <em>endotracheal tube</em>.</p>2024-10-30T13:34:50+07:00Copyright (c) 2024 Yudhi Wijaya, Andriamuri Primaputra Lubis, Dadik Wahyu Wijayahttps://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/342Environmental Factors as Contributors to Sleep Disturbance in Critically Ill Patients in Intensive Care Units (ICU): A Descriptive Study2024-11-05T09:06:14+07:00Junaidy Suparman Rustamjunaidy.rustam25@gmail.comReny Chaidirrenychaidir@yahoo.co.id<p><strong>Background:</strong> Sleep disturbance is a common problem among critically ill patients in the ICU and can significantly affect their overall experience of care. This study aims to study the experience of sleep disturbance in critically ill patients in the ICU.</p> <p><strong>Methods:</strong> This study was conducted in a public hospital in West Sumatra, Indonesia from June to August 2022, using a descriptive approach and focusing on a population of critically ill patients admitted to the ICU. The sample size of 80 participants was determined using power analysis from previous studies, and sampling was done using purposive technique based on inclusion criteria.</p> <p><strong>Results:</strong> The results of this study showed that 37.5% of participants reported experiencing sleep disturbances while being treated in the ICU. This demonstrates the prevalence of problems experienced by critically ill patients and highlights the need for targeted interventions to address them. It is imperative for healthcare providers to recognize the impact of sleep disturbances on patient health and recovery and implement strategies to reduce their impact.</p> <p><strong>Conclusion:</strong> This study showed a significant prevalence of sleep disturbance among critically ill patients in the ICU. This underscores the importance of proactive measures to address this issue and emphasizes the role of healthcare facilities in providing support and education to individuals affected by sleep disturbance. Further research and appropriate interventions need to be conducted to improve the sleep quality of critically ill patients in the ICU contributing to better overall outcomes and quality of care in the ICU. </p>2024-10-30T11:28:55+07:00Copyright (c) 2024 Junaidy Suparman Rustam, Reny Chaidirhttps://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/357Hubungan Konsentrasi Levobupivakain Isobarik 0,0625%, 0,125%, dan 0,25% pada Blok Fascia Iliaca Terhadap Skor Nyeri dan Rescue Analgesia 2024-11-05T09:06:14+07:00Eva Satya Nugrahaeva.satya@gmail.comAndi Salahuddinandisalahuddin22@gmail.comMadonna Damayanthie Datudonadatu@gmail.comSyafruddin Gausudhingaus@hotmail.comRatnawatiratnawatimuhadi@gmail.comHaizah Nurdinhaizahnurdin.anestesi@yahoo.com<p><strong>Latar Belakang:</strong> Fraktur femur terbuka dapat ditangani dengan tindakan <em>Open Reduction Internal Fixation</em> (ORIF). Dibutuhkan analgesia yang adekuat pada periode pascabedah untuk efektivitas rehabilitasi dan mencegah komplikasi. Intervensi blok kompartemen fascia iliaca dapat dilakukan untuk manajemen nyeri pascabedah pada pasien operasi ORIF femur. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan konsentrasi obat levobupivakain isobarik 0,0625%, 0,125% dan 0,25% pada blok fascia iliaca terhadap skor nyeri dan kebutuhan <em>rescue analgesia</em> pascabedah.</p> <p><strong>Metode:</strong> Penelitian ini menggunakan desain eksperimental, dengan rancangan acak tersamar ganda pada pasien ortopedi yang menjalani ORIF dengan metode consecutive sampling. Data yang diambil adalah skor nyeri pascabedah pada jam ke-4, 8, 12 dan 24 setelah blok fascia iliaca dengan menggunakan <em>Numeric Rating Scale</em> (NRS), serta jumlah kejadian pemberian <em>rescue analgesia</em> dalam 24 jam pascabedah. Uji normalitas data menggunakan tes Kolmogorov-Smirnov.</p> <p><strong>Hasil: </strong>Pada 4 jam setelah tindakan blok fascia iliaca tidak ditemukan perbedaan pada ketiga kelompok. <br>Terdapat perbedaan NRS yang signifikan pada jam ke 8 dengan nilai p= 0,037, serta pada jam ke-12 dan 24 jika dibandingkan pada ketiga jenis konsentrasi levobupivakain dengan nilai p < 0,001. Tidak terdapat perbedaan jumlah kejadian <em>rescue analgesia</em> yang signifikan jika dibandingkan pada ketiga jenis konsentrasi levobupivakain dengan nilai p = 0,111.</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Blok fascia iliaca dapat digunakan sebagai salah satu manajemen analgesia multimodal pada ORIF femur. Skor nyeri dan kebutuhan <em>rescue analgesia</em> lebih rendah pada kelompok levobupivakain 0,125% dan 0,25% dibandingkan 0,0625%.</p>2024-10-30T11:53:23+07:00Copyright (c) 2024 Eva Satya Nugraha, Andi Salahuddin, Madonna Damayanthie Datu, Syafruddin Gaus, Ratnawati, Haizah Nurdinhttps://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/337Perbandingan Hemodinamik Pasca-Intubasi Operasi Bedah Saraf pada Penggunaan Lidokain 10% Spray dan Lidokain 2% Intravena di RSUP H. Adam Malik Medan2024-11-05T09:06:11+07:00Faura Dwika Juliarafauraarindah88@gmail.comRr Sinta Irinasintairina@gmail.comBastian Lubis bas28al@gmail.com<p><strong>Latar Belakang: </strong>Stabilitas hemodinamik pada saat tindakan intubasi sebelum tindakan operasi bedah saraf penting untuk mencegah terjadinya <em>secondary brain injury</em>. Penelitian ini bertujuan untuk menilai perbandingan hemodinamik pasca-intubasi pasien bedah saraf pada penggunaan lidokain 10% <em>spray</em> dan lidokain 2% intravena di RSUP H. Adam Malik Medan.</p> <p><strong>Metode:</strong> Penelitian ini merupakan jenis penelitian uji klinis acak terkontrol secara random tersamar ganda pada pasien yang menjalani operasi bedah saraf di RSUP Haji Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengolahan dan analisis data dengan program pengolah statistik dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna.</p> <p><strong>Hasil:</strong> Penelitian ini melibatkan 20 subjek yang dibagi menjadi kelompok A (lidokain 10% spray) dan kelompok B (lidokain 2% intravena). Rerata tekanan darah sistolik pada kelompok A adalah 94,70 ± 4,80 dan pada kelompok B 104 ± 6,81 (p=0,01). Rerata tekanan darah diastolik pada kelompok A adalah 61,90 ± 4,30 dan pada kelompok B 68,10 ± 3,24 (p=0,02). Rerata <em>mean arterial pressure </em>(MAP) pada kelompok A adalah 72,70 ± 4,11 dan pada kelompok B 80,30 ± 3,46 (p=0,001). Rerata HR pada kelompok A adalah 65,70 ± 3,94 dan pada kelompok B 75,50 ± 3,89 (p=0,001).</p> <p><strong>S</strong><strong>impulan</strong><strong>:</strong> Terdapat perbedaan yang signifikan pada perubahan tekanan darah, MAP, dan denyut jantung pada pemberian lidokain 10% dan lidokain 2% intravena pada pasien bedah saraf pasca-intubasi</p>2024-10-30T13:54:58+07:00Copyright (c) 2024 Faura Dwika Juliara, Rr Sinta Irina, Bastian Lubis https://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/354Efektivitas Morfin 2 mg dan Kombinasi Morfin 2 mg dengan Ropivakain 5 mg terhadap Numeric Rating Scale (NRS) pada Pasien Pascaoperasi di Bawah Umbilikus: Uji Klinis Tersamar Ganda2024-11-05T09:06:10+07:00Febrina Isnainiwisteriastrelitzia@gmail.comAchsanudin Hanafiehanafie@gmail.comDadik Wahyu Wijayawijayadadik@gmail.com<p><strong>Latar Belakang:</strong> Manajemen nyeri pascaoperasi merupakan salah satu komponen terpenting dari perawatan pasien pasca operasi. Salah satu strategi untuk memberikan analgesia pasca operasi yang efektif dan untuk mengurangi efek samping yang tidak diinginkan adalah penggunaan kombinasi anestesi lokal dengan morfin epidural. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas analgesia antara pemberian 2 mg morfin dan kombinasi morfin 2 mg dengan ropivakain 5 mg melalui kateter epidural dalam mengurangi nyeri pascaoperasi pada pasien yang menjalani operasi abdomen dan ekstremitas bawah.</p> <p><strong>Metode: </strong>Penelitian ini merupakan <em>randomized clinical trial</em> dengan metode <em>double blind</em>. Dua puluh empat sampel penelitian yang menjalani operasi abdomen dan ekstremitas bawah dengan teknik anestesi epidural dibagi secara acak menjadi dua kelompok. Analgesia epidural diberikan dengan 2 mg morfin dengan NaCl 0,9 % pada kelompok R1, dan kombinasi analgesia epidural 2 mg morfin + 5 mg ropivakain diberikan pada kelompok R2. Nilai NRS didokumentasikan pada jam ke 4 (T1) dan 8 jam (T2). Selain itu juga dicatat parameter hemodinamik, kejadian PONV, dan blok motorik.</p> <p><strong>Hasil:</strong> Nilai NRS-R1 T1 memiliki nilai mean 0,33 ± SD. NRS-R1 T2 dengan nilai mean ± SD 1±0,85. Nilai NRS-R2 T1 memiliki nilai mean ± SD 0±0. Nilai NRS-R2 T2 memiliki nilai mean ± SD 0,41±0,51. Kejadian hipotensi (SBP <90mmHg) tidak diamati pada kedua grup. Terdapat kejadian PONV lebih tinggi pada kelompok pemberian morfin 2 mg + NaCl 0,9% pada T1 dan T2 namun tidak bermakna secara statistik, dan kejadian blok motorik pada kelompok morfin 2 mg dengan ropivakain 0,2% lebih banyak pada T1 namun tidak bermakna secara statistik.</p> <p><strong>Simpulan:</strong> Penggunaan anestesi epidural 2 mg morfin + 5 mg ropivakain lebih superior dibandingkan pemberian 2 mg morfin dengan NaCl 0,9 % dalam mengurasi NRS pascaoperasi.</p>2024-10-30T14:00:23+07:00Copyright (c) 2024 Febrina Isnaini, Achsanuddin Hanafie, Dadik Wahyu Wijayahttps://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/378Neuroanesthesia Management of Complex Meningioma Case: A Comprehensive Approach for Minimizing Edema and Bleeding 2024-11-05T09:06:12+07:00Ida Ayu Arie Krisnayantiariekrisnayanti@gmail.comI Putu Pramana Suarjayaputupram@gmail.comNova Juwitanovajuwita88@gmail.comHendrikus Gede Surya Adhi Putrahendrikusadhi@gmail.com<p><strong>Introduction: </strong>Meningioma is an extra-axial tumor originating from the arachnoid membrane cells. Most meningiomas are benign, circumscribed, slow growing and can be treated surgically according to the location of the lesion. The three main symptoms are headache, altered mental status and paralysis.</p> <p><strong>Case Illustration: </strong>This case report discusses about A 41-year-old female patient came in conscious condition complaining of head pain that had been complaining since 2 years ago accompanied by complaints of nausea, vomiting and tonic-clonic seizures which were complained of 1 day before surgery. MRI examination of the brain with contrast, suggest a solid mass stinging firm contrast, dural tail is present, accompanied by perifocal edema measuring 4 x 4.1 x 4 cm in the right sphenoid wing urging the brainstem and midline to the left as far as 0.6 cm, depressing the optic chiasma and extending to the cavernous sinus tract right optic view shows a meningioma. The patient was managed under general anesthesia and lumbar drainage to reduce perioperative intracranial pressure.</p> <p><strong>Conclusion: </strong>Various neuroanesthesia approaches including patient positioning, optimal neuroanesthesia management are needed so that oedema and bleeding from surgery can be minimized.</p>2024-10-30T12:03:59+07:00Copyright (c) 2024 Ida Ayu Arie Krisnayanti, I Putu Pramana Suarjaya, Nova Juwita, Hendrikus Gede Surya Adhi Putrahttps://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/395Severe Respiratory Acidosis in Acute Exacerbation COPD, Is that Possible to Treat?2024-11-05T09:06:13+07:00Siti Wahdiyatisitiwahdiyati.m@gmail.comNicholas Prathama Limalvinlimprathama@gmail.comNovita Maulidiyahvita_fk02@yahoo.co.idFerry Limantaraferrylimantara@gmail.comFajar Kurniawanfarkulho@gmail.com<p><strong>Introduction:</strong> Chronic obstructive pulmonary disease (COPD), currently the third leading cause of death worldwide, is a common condition characterized by progressive airflow limitation and tissue destruction. Patients with COPD may present to the Emergency Room (ER) with severe acute exacerbations (AECOPD), which can be associated with acute respiratory failure—a life-threatening condition with a mortality rate approaching 50% in Indonesia—requiring rapid intervention and ICU admission. In this report, we present a severe respiratory acidosis in AECOPD case with successful emergency followed by ICU management and the frequent pitfalls.</p> <p><strong>Case Illustration:</strong> In this report we present a-67 years old male, pedicab driver and smoker came to the ER with acute onset shortness of breath and decrease of consciousness with history of shortness of breath in last 10 years. In primary survey we found clear wheezing sound, tachypnea, intercostal retraction, decrease of peripheral oxygen saturation, tachycardia and verbal respond of consciousness. Blood gas analysis result interpreted severe respiratory acidosis with pH 6.90 and pCO<sub>2</sub> 128.5 mmHg. Chest radiograph showed infiltrate that became the cause of exacerbation. Endotracheal intubation was performed due to decreased consciousness, persistent tachypnea and pCO<sub>2</sub> over 100 mmHg. This patient was hospitalized for 12 days including 9 days in ICU followed by 3 days in regular ward.</p> <p><strong>Conclusion:</strong> The goal for AECOPD management is to minimize and prevent the negative effects of the exacerbation.</p>2024-10-30T12:02:44+07:00Copyright (c) 2024 Siti Wahdiyati, Nicholas Prathama Limalvin, Novita Maulidiyah, Ferry Limantara, Fajar Kurniawanhttps://macc.perdatin.org/index.php/my-journal/article/view/386Potensi Terapi Stem Cell pada Neuropati Optik2024-10-30T14:45:50+07:00Devi Azri Wahyunimonicaputri1281@gmail.comLegiranlegiran@gmail.com<p><em>Stem cell </em>merupakan sel yang memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi dan regenerasi melalui pembelahan sel maupun stimulasi faktor perkembangan suatu jaringan. Neuropati optik merupakan sekumpulan gangguan dengan kelainan dan disfungsi saraf optik yang dapat bersifat primer maupun sekunder. Neuropati optik dapat mengurangi kualitas hidup penderitanya karena menyebabkan defek penglihatan yang mayoritas bersifat ireversibel. Terapi penggantian sel dan efek neuroprotektif <em>adult stem cell</em> telah diteliti untuk mengurangi hilangnya <em>retinal ganglion cell</em> (RGC) dan aksonnya serta meningkatkan kelangsungan hidup RGC dan regenerasi aksonal. Tinjauan literatur ini membahas potensi pemanfaatan <em>adult stem cell </em>dalam beberapa kasus neuropati optik sebagai salah satu alternatif terapi mutakhir dalam memulihkan kemampuan penglihatan dan kualitas hidup penderitanya. <em>Stem cell </em>ditemukan memiliki banyak potensi, namun masih perlu studi dan riset lebih lanjut untuk meneliti keamanannya pada manusia.</p>2024-10-30T12:09:12+07:00Copyright (c) 2024 Devi Azri Wahyuni, Legiran